5 Agustus 2010
Syariat Sebagai Gerbang Dunia Hakikat.
18.09
Oleh Abu Sangkan
Umat islam masa sekarang ini banyak yang mengalami kehilangan arah dan tempat pijakan.
Dari mana harus memulainya. Mereka terpuruk dan ingin cepat bangkit dari
ketertinggalannya. Hal tersebut tampak dari semangat yang kadang berlebihan dengan
diiringi emosi yang tinggi, sehingga hal itu memudahkan musuh-musuh islam untuk
mensiasati dan menjadikan umat islam sebagai kaum teroris dan berbagai kesan kurang
baik lainnya. Hal ini harus diakui merupakan keteledoran umat islam dalam melaksanakan
ajaran dengan pengertian yang keliru.
Islam harus kembali kepada hati yang suci, yang dalam firman Allah dikatakan ...."yang
mampu memuat Dzat-Ku". Dengan demikian seharusnya manusia akan berkata-kata dengan
Rab-nya tentang hidup, tentang ilmu, tentang informasi dan rencana-rencana untuk
menghadapi semua permasalahan di dunia maupun di akhirat. Bukankah Allah berjanji akan
melindungi seorang mukmin dengan mengalahkan sepuluh orang musuh ?.
Kaum yang sedikit dengan kekuatan spiritual yang luar biasa mampu mengalahkan perang
badar yang dahsyat. Nabi Musa dengan keteguhannya dalam bertauhid mampu
mengalahkan Raja Fir’aun. Dan masih banyak lagi pejuang-pejuang sahid kita dalam
menghadapi musuh dengan tetap teguh pada jalan tauhid dan komunikasi kepada Allah
Yang Agung.
Kita sadar bahwa begitu agungnya Al Quran, dan begitu piciknya kita dalam memahami
syariat, sehingga kita lihat ummat Islam sekarang terpuruk dan saling menyalahkan. Kita
lihat pula gerakan atau harokah-harokah islam muncul dimana-mana dengan berbagai
bentuk penawaran berupa konsep keislaman yang lebih murni. Namun apa yang terjadi,
kenyataannya mereka masih sangat rapuh sehingga antara mereka masih mengadakan adu
otot dikhalayak ramai bahkan seperti anak kecil saling cemooh dan masing-masing pihak
merasa yang paling benar dan islami.
Satu hal yang belum ada dalam jiwa ummat yaitu kelembutan hati akibat jauhnya dari
ingat kepada Allah, memulainya tindakan sesuatu bukan dilandasi karena Allah, serta
kurang siapnya kita dalam menembus hati-hati yang panas dan gersang dengan sapaan jiwa
yang manis penuh kasih.
Kita belum memiliki keberanian untuk mengatakan akulah yang salah dan terima kasih atas
nasihatmu. Padahal untuk hal seperti itu Allah sudah memberikan peringatan seperti yang
tercermin dalam surat Al Asyr ayat 3 : "Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal soleh dan nasehat menasehati supaya menta'ati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kebenaran".
Pada kali ini penulis akan membicarakan masalah syariat pada sisi yang lain disamping
sudah terpapar mengenai bersyariat untuk memikirkan mengenai ayat-ayat kauniah. Juga
akan penulis ungkapkan masuknya seorang mukmin sejati dalam bersyariat sehingga
mencapai kepada tingkat hakikat syariat secara transendental. Dimana pada sisi ini
adalah bagaimana melaksanakan syariat dan merasakan keimanan yang sebenarnya dengan
tetap mengacu pada kontrol Al-Qur’an dan Al hadist.
Imam Hasan Al Banna berkata di dalam risalah ta’lim : Bagi iman yang tulus, ibadah yang
benar serta mujahadah (berjuang menundukkan hawa nafsu) melahirkan cahaya kelezatan yang Allah limpahkan ke dalam hati siapa saja yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya. Akan tetapi ilham, khowatir (lintasan-lintasan hati), kasyf (penyingkapan rahasia
ghaib) dan mimpi bukanlah merupakan dalil-dalil hukum syariat dan tidak dianggap kecuali
dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum agama dan nash-nash-Nya (nash dari Al
Qur’an dan As Sunnah).
Di dalam menyikapi prinsip syariat, ada dua golongan/kategori yang termasuk di dalamnya,
yaitu :
Golongan pertama, golongan yang mengabaikan cita rasa yang terkandung dalam syariat,
atau mereka menilai sesuatu secara lahiriah saja tanpa melihat kepada pengertian
sesungguhnya, yang mana mereka/golongan ini mengingkari pengaruh apapun yang timbul
dari iamn yang dalam, ibadah yang benar, serta ketulusan dalam bermujahadah di dalam
mencemerlangkan akal dan memberi hidayah kepada hati.
Golongan kedua, yaitu golongan orang yang di dalam melaksanakan ibadah (bersyariat),
tidak hanya sampai kepada makna lahiriah saja, tetapi perhatian terhadap penghadapan
jiwa secara hanif (lurus) dan sungguh-sungguh dalam berjuang melumpuhkan hawa nafsu.
Di dalam hadist shahih, Rasulullah SAW bersabda :
"Akan dapat merasakan makanan iman ialah : orang yang ridho terhadap Allah sebagai
Tuhannya, islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai nabinya (HR Muslim dari Al
Abbas). Sufyan bin usyainah pernah ditanya "Mengapakah ahlul ahwa (yang bergelimang
dalam nafsu) itu begitu kuat cintanya kepada nafsunya ?" Sufyan menjawab : "Apakah
engkau lupa firman Allah yang mengatakan : "Dan mereka itu telah dimesrakan dalam
hati-hati mereka untuk menyembah anak lembu dengan kekufuran mereka (QS. Albaqarah
: 92)".
Setiap peribadatan yang apabila kita lakukan dengan syarat sungguh-sungguh akan
mendapatkan dampak kepada hati berupa kesejukan dan kemudahan untuk melakukan
kebaikan-kebaikan yang dirihoi Allah SWT. Dan sebaliknya apabila kita melakukannya
dengan sekedarnya saja atau hanya memenuhi syarat sahnya syariat, maka kita tidak akan
mendapatkan apa-apa kecuali rasa penat dan jenuh. Sehingga terasa sekali di hati
kekakuan dan kecongkakkan yang dengan tetap bersimbulkan keislaman. Maka jadilah
budaya kita adalah budaya islam yang kaku dan jauh dari sifat kasih sayang serta
kebusukan hati yang diseliputi bungkus syariat islam. Kenyataan ini hendaknya kita
koreksi bagaimana sikap orang mukmin terhadap sesama, dan bagaimana mereka bila
disebut asma Allah.... lalu bergetar serta tersungkur dan menangis tak tertahankan.
Di dalam Al Qur’an banyak menjelaskan ciri-ciri orang mukmin sejati. Yang seharusnya
menjadi acuan dalam hidup kita dalam melakukan peribadatan kepada Allah SWT.
Bukannya lantas takluk kepada kekalahan terhadap nafsu. Yang akhirnya kita tetap
berkubang dalam kecintaan terhadap bimbingan setan yang sesat.
Kesulitan hati dalam merasakan nikmat Allah berupa kelezatan iman. Cemerlangnya hati,
kekusu’an serta berbuat baik. Ini disebabkan ada bisikan pembimbing yang setia setiap
saat dalam melakukan kekejian dan kemungkaran, yaitu setan laknatullah Sebagaimana dicantumkan dalam Al Qur’an surat Az Zkhruf 36 : "Barang siapa yang
berpaling dari dzikir kepada yang maha pemurah, kami adakan baginya setan (yang
menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya".
Sedangkan dalam surat Al Mujadalah ayat 19 Alah berfirman, artinya : "Telah dikerasi
mereka oleh setan, maka setan itu telah menjadikan mereka lupa kepada menyebut Allah"
Dilanjutkan dalam surat An Nissa 142 tercantum, artinya : "Mereka gemar memperlihatkan
amalan-amalannya kepada manusia ramai dan mereka tiada menyebut Allah
kecuali hanya sedikit"
Juga dalam surat An Nur ayat 21 , artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah
setan itu menyuruh perbuatan yang keji dan mungkar. Sekiranya tidak karena karunia
Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih
(dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui".
Setelah melihat dengan jelas keterangan Al Qur’an mengenai betapa setan merupakan
penyebab utama dalam mengarahkan manusia untuk berbuat keji dan mungkar, sehingga
manusia tidak lagi mampu berbuat yang diperintahkan Allah. Namun demikian Allah
menjelaskan dalam Al Qur’an bahwa Allah sendirilah yang akan mengangkat manusia
ketika manusia dalam perangkap setan. Kita tidak akan mampu menolak ajakan setan
sebab mereka berada dalam pusat hati kita, kita bagaikan terpengaruh hipnotis dimana
selalu menuruti apa yang diperintahkan setan. Maka jadilah kita orang yang selalu dalam
bimbingan setan. Hati kita menjadi keji tanpa harus melalui proses berpikir. Rasa jahat
itu muncul seketika dalam hati dan merasakan sulitnya berbuat kebajikan.
Akan tetapi kekuatan atas kesungguhan dalam menghayati perilaku syariat mengakibatkan
si pelaku menemui hakikat (kebenaran) dari apa yang dilakukan selama ini. Seperti
diungkapkan Al Qur’an mengenai shalat "bahwa sesungguhnya shalat itu mencegah
perbuatan keji dan mungkar" (Al Ankabut : 45 ).
Pemahaman atas ayat tersebut adalah bahwa shalat merupakan alat pencegah dari segala
perbuatan buruk. Satu hal yang akan penulis kedepankan memperhatikan masalah shalat,
bagaimana kita menghayati dan meluruskan jiwa kita dalam menghadap kepada yang
menciptakan langit dan bumi dengan tidak sedikitpun kesyirikan dalam hati maupun
pikiran kita. Kehadiran hati, perasaan serta dialog yang telah disyariatkan. Apabila si
pelaku tadi melakukannya dengan totalitas tinggi (kaaffah), maka ia akan mendapatkan
karunia ketidakmampuan berbuat keji dan mungkar, serta akan dimudahkan untuk selalu
bersikap baik. Karena di dalam hati orang itu sudah timbul perasaan ihsan yang terusmenerus
terhadap Allah. Syariat tidak lagi menjadi beban si pelaku. Tetapi merupakan
energi bagi kehidupan serta menjadi alat komunikasi yang indah untuk selalu berdialog
dalam do’a.
Ketidak-mampuan dalam melakukan perbuatan keji dan mungkar adalah merupakan karunia
Allah, merupakan kenyataan (hakikat). Si pelaku tidak lagi merasa tertekan dan terbebani
syariat yang begitu banyak.
Berdasarkan keterangan di atas, maka kecintaan terhadap perbuatan keji dan mungkar
itu hanya dapat diatasi dengan membawakan hati tersebut selalu teringat kepada Allah
serta mengihklaskan hati kita hanya untuk Allah.
Sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yusuf 24 : "Sesungguhnya wanita itu telah
bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan
pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikian itu
karena hendak memalingkan yusuf dari perbuatan jahat dan keji, karena sesungguhnya dia
termasuk hamba-hamba yang ikhlas"
Allah telah mengisyaratkan pada ayat-ayat di atas bahwa kita tidak akan mampu
beribadah dengan baik atau melakukan syariat yang begitu banyak, rasanya mustahil kita
memenuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah tersebut, kecuali atas karunia
dan bimbingan-Nya. Dan untuk mendapatkan bimbingan serta ianah Allah kita diharapkan
memasrahkan diri setiap saat dalam segenap keadaan, dengan cara mengingat Allah baik
pagi maupun petang, serta mengiklaskan setiap peribadatan hanya untuk Allah semata.
Begitulah Allah memalingkan nabi Yusuf dari perbuatan tercela dengan menuntun dan dan
mencabut rasa keji dan mungkar dihatinya. Padahal saat itu kedua belah pihak antara nabi
Yusuf dan Siti Zulaiha sudah saling menginginkan, namun nabi Yusuf berserah diri kepada
Allah untuk mendapatkan burhan (penerang) dari Allah. Atas dasar keiklasan dan
pemasrahan yang kuat kepada Allah akhirnya nabi Yusuf mendapatkan karunia terlepas
dari ajakan setan.
"Ya Allah, Ajari Kami Ingat Kepada-Mu, Bersyukur & Khusyu' Beribadah"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar