Rss
TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG, JANGAN LUPA KESINI LAGI WWW.AHMAD-SAHID.BLOGSPOT.COM BLOG RESMIAHMAD SAHID, Temukan Info info menarik di blog ini ya

8 Agustus 2010

Hakikat Manusia

A. Kesadaran Diri.
Didalam filsafat kontemporer secara hakiki terpusat pada pribadi manusia. Boleh jadi,
tanpa situasi historis kita tidak bisa memahami apa dan esensi diri yang sebenarnya.
Alqur'an membuka pintu dunia baru, tentang kesadaran diri secara berurutan sampai
kepada kesadaran yang universal. Ungkapan ini tidak terikat oleh suatu aliran tertentu.
Saat dimana muncul ketikan dihadapkan persoalan manusia terdorong untuk memikirkan
eksistensi. Dimana keberada- annya bagaikan terlempar begitu saja. "Aku" yang kehilangan
arah, berpaling dari dirinya sendiri, ia mawas diri dan menyelidiki dirinya.
Demikianlah suatu motif yang mula-mula bersifat historis dan psikologis berubah menjadi
suatu pertanyaan filosofis yang mendesak : "Siapakah aku ini? Dengan kegembiraan dan
harapanku? Apakah tujuan hidup ini? Apakah artinya? Mengapa aku bereksistensi? Dan
bukannya tidak bereksistensi?"
Mengemukakan masalah mengenai pribadi dalam ungkapan-ungkapan tersebut, berarti
mengemukakan masalah kebebasan, masalah tanggung jawab. Hal ini membawa kita
kepada penelitian mengenai dasar dari asal usul. Baik dari sisi kebebasan maupun dari sisi
tanggung jawab. Hal tersebut akhirnya memunculkan masalah ketuhanan. Apakah Allah
itu masuk dalam definisi manusia atau tidak? Apakah eksistensi manusia itu bersifat
teosentris ataupun antroposentris? Partisipasi ataupun cukup dalam dirinya sendiri? Ada
apakah dengan pernyataan ulama populer "man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu?"
(barang siapa tahu akan dirinya, maka ia tahu akan Tuhannya).
Dalam arti yang sebenarnya, kata "eksistensi" berarti data kosmis, sejauh manusia yang
terlibat secara aktif di dalamnya. Hubungan erat antara masalah manusia dan masalah
ketuhanan, terlihat baik pada mereka yang mengingkari Allah maupun pada mereka yang
mengikuti-Nya. Kecenderungan tersebut pada dasarnya merupakan naluri manusia yang
tidak bisa dipungkiri dan merupakan fitrah manusia.
Mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri religiusitas dalam pengertian apapun,
baik yang sejati maupun yang palsu. Sebenarnya adalah sama dengan menga-takan bahwa
setiap pribadi memiliki naluri untuk berkepercayaan. Dalam tinjauan antropologi budaya,
naluri itu muncul berbarengan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup ini
sendiri dan alam sekitar yang menjadi lingkungan hidup itu. Karena itu setiap orang dan
masyarakat pasti mempunyai keinsafan tertentu tentang apa yang dianggap "pusat" atau
"sentral" dalam hidup seperti dikatakan oleh Mircea Elidae :
"Setiap orang cenderung, meskipun tanpa disadari mengarah kepusat dan menuju pusat
sendiri, dimana ia akan menemukan hakekat yang utuh yaitu rasa kesucian. Keinginan yang
begitu mendalam berakar dalam diri manusia untuk menemukan dirinya pada inti wujud
hakiki itu di pusat alam, tempat komunikasi dengan langit -menjelaskan penggunaan
dimana akan ungkapan pusat alam semesta"
Disini kita akan mencoba menelusuri secara beruntun dari dasar sekali. Alqur'an
menyebutkan dalam Surat Adz dzariat 21: "Dan juga pada dirimu, maka apakah kamu
tiada memperhatikan"

Juga dalam surat Al hijir 28-29 : "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat : sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh (cipataan)Ku, maka
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud". (QS Al hijir 28-29).
Dalam kerangka ini kita mengambil garis yang jelas dari peristiwa kejadian manusia,
dimana para makhluk baik itu setan maupun malaikat mempertanyakan kebijakan Allah
yang akan menciptakan manusia, yang menurut pandangan malaikat "manusia" adalah
makhluk yang selalu membuat keonaran dan pertumbahan darah (QS Al baqarah 30).
Tidak kalah sengitnya setan memprotes keberadaan manusia yang dipandang rendah, yang
hanya diciptakan dari unsur tanah, sambil membanggakan dirinya yang dibuat dari api.
Dalam keadaan ini para malaikat gigit jari dan begitu terheran-heran : rahasia macam apa
ini? Bumi yang hina-dina dipanggil kehadirat Zat yang maha tak terjangkau dengan
segenap kehormatan dan kemuliaan ini.
Kelembutan illahi dan kebijakan Tuhan berbisik lembut ke dalam relung rahasia dan
misteri malaikat, "Aku tahu apa yang tidak kalian ketahui" (QS :2:30).
Raga manusia termasuk kedalam derajat terendah, sementara ruh manusia termasuk ke
dalam derajat tertinggi. Hikmah yang terkandung dalam hal ini ialah bahwa manusia mesti
mengemban beban amanat pengetahuan tentang Allah. Karena itu mereka harus
mempunyai kekuatan dalam kedua dunia ini untuk mencapai kesempurnaan. Sebab tidak
sesuatupun di dunia ini yang memiliki kekuatan yang mampu mengemban beban amanat.
Mereka mempunyai kekuatan ini melalui esensi sifat-sifatnya (sifat-sifat ruhnya), bukan
melalui raganya.
Karena ruh manusia berkaitan dengan derajat tertinggi dari yang tinggi, tidak satupun di
dunia ruh yang menyamai kekuatannya, entah itu malaikat maupun setan sekalipun atau
segala sesuatu lainnya. Demikian pula, jiwa manusia berkaitan dengan derajat yang paling
rendah, sehingga tidak sesuatupun di dunia jiwa bisa mempunyai kekuatannya, entah itu
hewan dan binatang buas atau yang lainnya. Ketika mengaduk dan mengolah tanah, semua
sifat hewan dan binatang buas, semua sifat setan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda
mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu dipilih untuk mengejawantahkan sifat "dua
tangan-Ku". Karena masing-masing sifat tercela ini hanyalah sekedar kulit luarnya saja, di
dalam setiap sifat itu ada mutiara dan permata berupa sifat illahi.
Penjelasan diatas merupakan urutan ungkapan mengenai hakekat diri yang sebenarnya,
dimana manusia sebagai makhluk yang sangat lemah dan hina disisi lain dinobatkan sebagai
"khalifah" (wakil Allah). Bertugas mengatur alam semesta dan merupakan wakil Allah
untuk menjadi saksi-Nya serta mengungkapkan rahasia-rahasia firman-Nya. Para mahkluk
yang lain tidak melihat ada dimensi yang tidak bisa dijangkau olehnya, ia hanya mampu
melihat pada tingkat yang paling rendah dalam diri manusia. Sementara ia terhijab oleh
ketinggian derajat manusia yang berasal dari tiupan illahi (QS Al Hijir 28-29).
Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu secara berurutan
dalam memahami manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak
berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya
sendiri.

Al Ghazaly yang hidup pada abad pertengahan tidak terlepas dari kecenderungan umum
pada zamannya dalam memandang manusia. Didalam buku buku filsafatnya ia mengatakan
bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah yaitu An
nafs (jiwanya). Yang dimaksud an nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak
bertempat dan merupakan tempat pengetahuan intelektual (al makulat) yang berasal dari
alam malakut atau alam amr. Ini menunjukkkan esensi manusia bukan fisiknya dan bukan
fungsi fisik. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat. Dan fungsi fisik adalah
sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Keberadaannya tergantung kepada fisik. Alam al amr
atau alam malakut adalah realitas diluar jangkauan indra dan imaginasi, tanpa tempat,
arah dan ruang. Sebagai lawan dari alam al khalq atau alam mulk yaitu dunia tubuh dan
aksiden-aksidennya esensi manusia, dengan demikian an nafs adalah substansi immaterial
yang berdiri sendiri dan merupakan subyek yang mengetahui (Bashirah).
Untuk membuktikan adanya substansi immaterial yang disebut an nafs, Al Ghazaly
mengemukakan beberapa argumen. Persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia dan
seluruh berita tentang akhirat tidak ada artinya apabila an nafs tidak ada, sebab seluruh
ajaran agama hanya ditujukan kepada yang ada (al maujud) yang dapat memahaminya.
Yang mempunyai kemampuan bukanlah fisik manusia sebab apabila fisik manusia
mempunyai kemampuan memahami, objek-obyek fisik lainnya juga mesti mempunyai
kemampuan memahami. Kenyataan tidak demikian. Argumen bersifat keagamaan ini ,
bagaimanapun tidak dapat meyakinkan orang yang ragu terhadap kenabian dan hari
akhirat. Karena untuk mempercayai argumen ini orang terlebih dahulu harus percaya
akan kenabian dan hari akhirat.
Selain itu Al Ghazaly juga mengemukakan pembuktian dengan kenyataan faktual dan
kesederhanaan langsung, yang kelihatannya tidak berbeda dengan argumen-argumen yang
dibuat oleh Ibnu Sina (wafat 1037) untuk tujuan yang sama, melalui pembuktian dengan
kenyataan faktual. Al Ghazaly memperlihatkan bahwa; diantara makhluk-makhluk hidup
terdapat perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing.
Keistimewaan makhluk hidup dari benda mati adalah sifat geraknya. Benda mati
mempunyai gerak monoton dan didasari oleh prinsip alam. Sedangkan tumbuhan makhluk
hidup yang paling rendah tingkatannya, selain mempunyai gerak yang monoton, juga
mempunyai kemampuan bergerak secara bervariasi. Prinsip tersebut disebut jiwa
vegetatif. Jenis hewan mempunyai prinsip yang lebih tinggi dari pada tumbuh-tumbuhan,
yang menyebabkan hewan, selain kemampuan bisa bergerak bervariasi juga mempunyai
rasa. Prinsip ini disebut jiwa sensitif. Dalam kenyataan manusia juga mempunyai kelebihan
dari hewan.
Manusia selain mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia juga mempunyai semua yang
dimiliki jenis-jenis makhluk tersebut, disamping mampu berpikir dan serta mempunyai
pilihan untuk berbuat dan untuk tidak berbuat. Ini berarti manusia mempunyai prinsip
yang memungkinkan berpikir dan memilih. Prinsip ini disebut an nafs al insaniyyat. Prinsip
inilah yang betul-betul membedakan manusia dari segala makhluk lainnya.
Argumen kesadaran langsung yang dikemukakan seorang manusia menghentikan segala
aktivitas fisiknya1, sehingga ia berada dalam keadaan tenang dan hampa aktivitas. Ketika
ia menghilangkan segala aktivitasnya, menurut Al Ghazaly, ada sesuatu yang tidak hilang
di dalam dirinya yaitu "kesadaran" yakni kesadaran akan dirinya. Ia sadar bahwa ia ada.
Bahkan ia sadar bahwa ia sadar. Pusat kesadaran itulah yang disebut an nafs al insaniyyat

(diri sejati). Dikatakan dalam suatu tafsir shafwatu at tafasir karangan prof. As
Shabuny dalam surat Al qiyamah ayat 14: "akan tetapi di dalam diri manusia ada bashirah
(yang tahu)."
Kata bashirah ini disebut sebagai yang tahu atas segala gerak manusia yang sekalipun
sangat rahasia. Ia biasa menyebut diri (wujud)-nya adalah "Aku".
Wujud "Aku" yang memiliki sifat tahu yang memperhatikan dirinya atas perilaku hati,
kegundahan, kebohongan, kecurangan, serta kebaikan. Ia tidak pernah bersekongkol
dengan perasaan dan pikiran, ia jujur dan suci, sehingga manusia, setan dan jin tidak bisa
menembus alam ini karena ia sangat dekat dengan Allah sekalipun manusia itu jahat dan
kafir. Adalah pernyataan Allah atas pengangkatan sebagai wakil Allah, sehingga Allah
menyebut tentang "Aku" ini sebagai ruh-Ku. Yang oleh As Shabuny sebagai penghormatan
yang maha tinggi seperti penghormatan Allah terhadap Baitullah (rumah Allah).
Ketika itu yang disadari bukan fisik dan yang sadarpun bukan fisik. Kesadaran disini tidak
melalui alat, tetapi bersifat langsung. Oleh karena itu subyek yang sadar itu jelas bukan
fisik dan bukan fungsi fisik melainkan sesuatu substansi yang berbeda dengan fisik.
Mungkin juga dikatakan disini tidak bersifat langsung, tetapi melalui perantara, yaitu
melalui perbuatanku. Dalam perbuatanku ada yang mendahului, yaitu kesadaran akan aku
yang menjadi subyek perbuatan itu. Kesadaran disini bagaimanapun bersifat langsung dan
terlepas dari aktivitas fisik. Dengan demikian subyek yang sadar, yang menjadi esensi
manusia itu nyata ada dan merupakan substansi yang berbeda dengan fisik.
Hal ini terbukti ketika manusia kehilangan aktivitas pada moment menjelang tidur. Sang
"Aku" (kesadaran) mengetahui dengan sadar peristiwa yang dialami pada saat bermimpi.
Begitupun Kehidupan keruhanian dalam mendasari kesadaran ihsan dengan menghentikan
aktivitas fisik sebagai kendali sahwati, maka yang timbul adalah kesadaran diri yang
mampu menembus alam malakut dan uluhiah. Dimana manusia mencapai puncak eksistensi
yang sejati. Kesejatian inilah yang di tuntut oleh Allah dalam hal melakukan peribadatan,
apakah puasa, zakat, dan shalat. Dengan konteks "ihklaskanlah peribadatanmu dengan
tidak melakukan kesyirikan sedikitpun" (QS. Az Zumar 11 & 14).
Aktivitas ruhani yang diajarkan oleh Allah adalah peribadatan saum yang mana manusia
dalam sementara waktu diwajibkan mengendalikan emosinya dan aktivitas keinginan hawa
nafsu selama satu bulan di bulan ramadhan. Selama satu bulan penuh menahan rasa dan
keinginan ragawi, samar-samar akan terjadi proses transformasi kejiwaan yang tadinya
emosional berubah menjadi ketenangan, dan fisik seolah tidak lagi menuruti keinginannya,
sehingga sang fisik mengikuti kehendak-kehendak diri yang sejati. Maka oleh Allah
dikatakan mereka itu telah mendapatkan karunia lailatul qadar, dimana ia mampu
menembus seluruh semesta ruhani dan kembali sebagai manusia sejati dan fitrah.
Keadaan Fitrah ini diungkap Al qur'an, bahwa apabila telah terjadi fitrah pada diri
manusia maka sesungguhnya fitrah itu sama dengan kehendak Allah (QS. 30:30): "Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah)fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

Dalam hal ini manusia tersebut mendapat karunia kepatuhan dan ketaqwaan seperti
patuhnya alam semesta serta patuhnya tubuh manusia, dimana dimengerti bahwa tidak
pernah dirinya merencanakan ada, kemudian kenapa aku ini laki-laki? Atau nafas ini
mengalir keluar masuk tanpa aku kehendaki dan bisakah aku menangguhkan jangan keburu
tua dulu. Hal ini merupakan renungan hakiki, kenapa pikiran ini tidak sepatuh alam dan
tubuh yang diselimuti kekuasaan Allah. Ia begitu tampak jelas dalam gerakan dan
keberadaan alam dan diri ini.
Dengan argumen di atas bahwa an nafs berdiri sendiri dipertegas bahwa ia tidak
bertempat, baik didalam badan maupun diluar badan. Karena an nafs bukan materi maka
dengan sendirinya tidak mengambil ruang dan tidak mempunyai tempat. Sifat dasar an
nafs tidak mengandung kemungkinan bertempat. Artinya pernyataan tempat tidak sesuai
dihubungkan kepada an nafs, sebagaimana tidak sesuai sifat mengetahui atau tidak
mengetahui diletakkan pada benda mati.
Al Ghazaly tidak menerima pandangan bahwa an nafs berada di luar badan. Sebab an nafs
dalam keadaan demikian, menurutnya tidak mungkin mengatur badan, tetapi kalau an nafs
berada di dalam badan keberatan lain akan timbul. An nafs bertempat di dalam badan
tidak terlepas dua kemungkinan, yaitu bertempat pada seluruh badan atau pada
sebagiannya saja. Kalau ber-tempat pada seluruh badan, an nafs semestinya menyusut
atau berpindah, jika sebagian anggauta tubuh manusia terpotong dan ini tidak mungkin.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa esensi atau hakikat manusia adalah substansi
immaterial yang berdiri sendiri, bersifat illahi (berasal dari alam amr), tidak bertempat
di dalam badan, bersifat sederhana, mempunyai kemampuan mengetahui dan
menggerakkan badan, diciptakan (tidak kadim) dan bersifat kekal pada dirinya. Ia berusaha
menunjukkan bahwa kesadaran jiwa dan sifat-sifat dasarnya tidak dapat diperoleh
melalui akalnya saja, tetapi dengan akal dan sara' . Untuk itu selain kutipan ayat 29 surat
Al Hijir di atas juga ayat-ayat yang lain yang menerangkan esensi manusia seperti surat
Ali Imron 169 : "Jangan engkau sangka orang-orang yang terbunuh pada jalan Allah itu
mati, mereka itu hidup dan diberi rezeki disisi Tuhan."
"Katakan jiwa itu dari amr Tuhanku." (QS. Al Isra 85).
Ayat yang pertama menunjukkan kekekalan jiwa dan ayat yang kedua untuk menunjukkan
bahwa ia berasal dari dunia yang sangat dekat dengan Allah, alam amr.
Pembangkitan kesadaran akan diri, dikatakan para ulama kerohanian sebagai ajang
mujahadah untuk menemukan kesejatian, dan dengan kesejatian itu pula manusia akan
mencapai hakikat "diri" serta terbukanya kebenaran adanya Allah secara hakiki, yakni
makrifatullah.
Periode pertengahan kejayaaan islam di jawa, berlangsung semaraknya hidup
berkerohanian yang dipelopori para dai (wali songo) masa itu.
Namun kita melihat kelebihan dan kekurangan metode yang diajarkan, masih banyak
menyesuaikan budaya masyarakat kerohanian hindu. Sehingga peribadatan yang masih
tersisa sekarang kelihatan asimilasi peninggalan hindu dan budha. Akan tetapi kita
melihat dengan jernih ajaran yang disampaikan oleh beliau dengan tetap memurnikan
ketauhidan kita kepada Allah. Misalnya dalam mantra ber-bahasa jawa, tentang perenungan hakiki manusia serta penyadaran dan pencarian kesejatian yang dikatakan
dalam Al qur'an sebagai "bashirah" (Aku yang mengetahui).
Bismillahirrahmanirrahim (dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang). Melebu
Allah..metu Allah (masuknya nafas karena Allah…keluarnya nafas karena Allah).
Anekadaken urip iku Allah (yang mengadakan hidup itu Allah). Utek dunungno kodrate
Allah (otak letakkan atas kodrat Allah). Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah (ya
hu ... Allah ya hu ... Allah ya hu ... Allah). Nabi Muhammad iku utusane Allah (nabi
Muhammad itu rasullullah).
Artinya : (perlu diketahui dalam membaca kalimat mantra ini diperlukan penghayatan dan
pendalaman makna yang hakiki).
Masuk dan keluarnya nafas ini adalah kodrat Allah yang tidak bisa dicegah. Manusia
hanya menerima dengan pasrah atas kekuasaan Allah yang meliputi nafas. Sehingga
fikiran ini diajak patuh dan pasrah bersamaan dengan patuhnya nafas tanpa reserve
(totalitas).
Yang mengadakan hidup pada manusia (semesta) itu adalah Allah. Dimana seluruh
makhluk, apakah itu binatang, manusia, tumbuhan serta bumi, matahari semuanya
bergerak dinamis atas sifat hidup Allah (Al hayyu).
Otak adalah merupakan bentuk kekuasaan Allah atas manusia, yang mana manusia
diwajibkan berfikir dan berkontemplasi untuk menyatakan sebagai wakil Allah (khalifah)
maka dengan itu otak harus sesuai dengan kehendak-kehendak Allah (perintah Allah).
Wahai zat yang tidak sama dengan makhluknya. Aku bersaksi bahwa nabi Muhammad itu
rasulullah.
Disini kita melihat sejarah manusia ketika mensikapi atas dirinya dalam pencarian diri
sejati secara universal. Al qur'an telah memaparkan sebelum para pemikir barat memulai.
B. Kesadaran Universal.
Menghayati mulai dari kesadaran fisik sampai kepada kesadaran transendental dimana
sejatinya manusia adalah sesuatu yang bukan fisik.
Dengan sejatinya inilah manusia menunaikan kebaktiannya kepada Allah sebagaimana
fitrahnya (QS Arrum : 30).
Al qur'an telah banyak mengungkapkan tentang apa dan siapa manusia sebenarnya. Namun
ungkapan ini tidak akan menjadi suatu kesadaran apabila fikiran dan perasaan jiwa kita
tidak pernah dibawa ke alamnya secara nyata, bukan teori tasawuf yang sulit dimengerti.
Kesadaran dimulai yang sangat sederhana.
Adalah seorang bayi yang tiba-tiba lahir dengan proses alami. Ia lahir bukan karena
permintaan dan kehendaknya. Ia tidak mengerti untuk apa dilahirkan. Ia tidak punya
apa-apa bahkan telanjang serta malupun tidak punya. Kemudian sekelilingnya memberikan
kesadaran secara bertahap. Mulai dari pemberian nama dan identitas kelamin, dan
batasan kesadaran yang sangat sempit. Ia dikenalkan dengan dirinya bahwa namanya siAnu dan jenis kelaminnya laki-laki. Diajarkannya pula nama-nama anggota tubuhnya, ini
telinga, ini kepala, ini tangan, dan seterusnya.
Kesadaran ini membuat terikat kepada sebatas apa yang ia terima (ketahui). Sehingga
sang diri terbelenggu dan tersesat dalam ketidaktahuan siapa yang sebenarnya diri ini.
Ada ungkapan rasullullah "barang siapa mencintai sesuatu maka ia akan menjadi
hambanya".
Pakaian atau dodot dalam tembang ilir-ilir sunan Ampel adalah sesuatu yang menimbulkan
ikatan pada jiwa seseorang. Dalam filsafat perenial, pakaian adalah sesuatu yang binding
(mengikat) dalam jiwa manusia. Jika manusia melakukan sikap yang binding dengan dunia
sekelilingnya, jiwanya akan terkungkung dan kebebasannya (kesadarannya) terbelenggu.
Oleh karena itu manusia dalam hidupnya harus selalu berusaha melakukan unbinding
terhadap dunia sekitarnya.
Maksudnya manusia harus mulai menyadari keterbatasan dirinya yang selama ini kita
dijerumuskan oleh pengetahuan yang kita dapat, bahwa diri ini hanya terbatas pada mata,
telinga, kaki serta anggauta tubuh yang kelihatan. Namun hal ini mustahil kalau saya
ungkap secara detail dalam tulisan ini, sebab kesadaran ini harus dilakukan dengan latihan
dan pengisian ilmu pengetahuan tentang diri secara imanen transendental (pengalaman
langsung).
Mari kita perhatikan tentang apa sebenarnya tubuh ini. Hirupan nafas masuk ke tubuh,
lalu sekaligus mengeluarkan zat residu berupa asam arang. Sekadar bayangan kesadaran
tentang diri agaknya hal-hal di bawah ini akan menolong kita. Ibaratnya keadaan itu bisa
diserupakan dengan penerangan sebuah kota, yang dialirkan oleh sentral listriknya.
Perbandingan ini menjadi semakin tajam apabila disadari dengan ilmu bahwa apa yang ada
dalam kehidupan sehari-hari kita pandang (sadari) bentuk tubuh manusia adalah terbatas
pada garis nyata. Sehingga kenyataan ini membuat orang tertipu oleh pengetahuan yang
ia miliki.
Padahal lebih dari yang ia bayangkan, bahwa manusia baik logam, tumbuhan dan gunung
adalah sebetulnya terdiri dari suatu untaian kejadian-kejadian atau proses. Dimana
segala alam lahir ini tersusun oleh senyawa-senyawa kimiawi yang dinamai zarrah (atom).
Dan atom-atom ini dalam analisa terakhir adalah satu unit tenaga listrik, yang energi
positifnya (proton) berjumlah sebanyak energi negatifnya (elektron). Di dalam atom ini,
terus-menerus setiap detik terjadi loncatan dan pancaran (charge and park). Itulah
semburan-semburan yang tidak ada hentinya dari daya listrik. Maka semburan atau
loncatan yang tidak putus-putus dengan kecepatan yang sangat luar biasa ini manusia
tidak mampu melihat dengan kasat mata biasa, kecuali dengan kesadaran ilmu yang cukup.
Sebagaimana Al qur'an mengungkap-kan tentang gunung yang dianggap oleh orang awam
seperti diam tak bergerak :
"Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap ditempatnya, padahal ia
berjalan sebagaimana jalannya awan" (An naml : 88). Bagi orang awam sebuah gunung atau pegunungan memang tampaknya kokoh berdiri di
tempatnya masing-masing. Jadi kalau benda-benda termasuk manusia yang dalam surat
Al hijir 28-29 diciptakan dari esensi alam.
Maka benarlah apa yang kita namai benda adalah sebuah bongkahan besar "runtutan
peristiwa" loncatan listrik. Maka disini tidak sama sekali dijumpai lagi suatu yang padat
atau baku (tetap). Bahan yang dipakai untuk pembentukan alam dan manusia bukanlah
benda atau zat-zat akan tetapi ialah "aksi" yaitu aliran berangkai dari peristiwaperistiwa.
Tidaklah mengherankan bahwa dari bahan-bahan yang sangat labil ini terbentuklah alam
yang selalu berubah-ubah, menjelma dari bentuk ke bentuk mengikuti suatu proses
evolusi.
Sampai disini kesadaran kita sampai kepada tahapan yang agak abstrak, dimana
penglihatan kita malah seakan-akan kehilangan penglihatan dimana bentuk tubuh yang
selama ini kita sadari. Jelas hal ini membigungkan kesadaran yang telah lama terpatri.
Namun kita telah mencoba melakukan pembangkitan kesadaran yang lebih luas. Yaitu
kesadaran dimana tubuh bukanlah apa yang kita lihat seperti ini. Tubuh adalah susunan
inti materi yang setiap saat berubah dan berganti. Terbatasnya kesadaran bahwa badan
bukan lagi sekedar tangan, kaki, kepala. Akan tetapi berubah meluas menjadi kesadaran
universal, yaitu kesadaran yang tidak ada batas. Pada tingkat kesadaran ini kita agak
bingung, yang mana sebenarnya wujud ini sebenarnya. Karena setelah ditelusuri secara
rinci, bahwa badan yang tadinya disadari sebagai sosok laki-laki atau wanita yang punya
rupa cantik dan gagah. Pelan-pelan terhapus oleh kesadaran yang lebih luas, yaitu
kesadaran jagat raya atau disebut kesadaran makrokosmos. Bahwa wujud badan ini tidak
lagi sesempit dulu, aku tidak lagi sebatas kepala, tangan, dan kaki saja. Akan tetapi
badanku adalah angin yang bergerak, atom-atom yang bertebaran serta bergantian saling
tukar dengan benda-benda yang lain, badanku adalah butiran-butiran zarrah yang saling
mengikat, ya .. aku saling ikat dengan tumbuhan, binatang, bumi serta dengan angkasa
yang maha luas. Badanku adalah jagad raya. Dimana kesadaran sudah berubah luas dan
menjadi satu kesatuan dengan lingkugan kita. Kesadaran ini akan memudahkan
mengidentifikasikan siapa diri sebenarnya. Setelah tahu esensi badan ini. Yaitu
kesadaran hakiki yang menggerakkan dan mengatur alam semesta.
Dikatakan dalam Al qur'an : "Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan
untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan dengan perintah-Nya. Sesungguhnya
dalam gejala-gejala itu terdapat ayat-ayat Allah -(atau tanda-tanda kekuasaan Allah)
bagi orang-orang yang mempergunakan akal". (QS An Nahl 12).
Sebenarnya di dalam ayat ini tercantum juga ungkapan bahwa Allah menunduk-kan dan
mengatur kelakuan matahari, bintang dan bulan dengan perintah-Nya. Peraturan inilah
yang diikuti oleh seluruh alam semesta (makrokosmos), bagaimana ia harus bertingkah
laku. Ia juga disebut hukum alam, atau peraturan yang diikuti oleh alam.
Lebih jelas lagi bila kita baca ayat 11 surat Fushilat : "Kemudian Dia mengarah kepada
langit yang masih berupa kabut lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi : "Silahkan
kalian mengikuti perintah-Ku dengan suka hati atau dengan terpaksa". Jawab mereka :
"Kami mengikuti dengan suka hati". Ayat ini membuktikan bahwa alam taat mengikuti segala perintah dan peraturan sang
pencipta. Dan peraturan yang telah ditetapkan Allah itu tidak berubah selamanya,
seperti yang telah ditegaskan dalam ayat 23 surat Al Fath : Artinya : "Sebagai sunatullah
(atau peraturan Allah) yang telah berlaku sejak dahulu, sekali-kali kamu tak akan
menemukan perubahan bagi sunatullah (atau hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah)
itu.
Apabila zat-zat, tubuh manusia dan benda-benda dalam alam sudah dipahami sebagai
rangkaian kejadian-kejadian, serta menurut kemauan sunatullah. Maka sebenarnya atomatom
atau zarrah bergerak bukan atas kemauannya sendiri, akan tetapi ada sosok yang
bukan dirinya.
Dimana atom-atom itu bergerak mengikuti kekuatan yang maha besar. Benda-benda kecil
itu hanya patuh terhadap yang tidak bisa diperbandingkan dengan sesuatu. Wujud itu
begitu absolut. Ternyata benda-benda ini mati. Akan tetapi ia bergerak dan dihidupkan
oleh suatu kuasa yang maha besar. Itulah metakosmos yang hidup, yang perkasa, yang
meliputi segala benda. Ialah Rabbul alamin…..
Pada kesadaran ini sebaiknya kita berhenti sejenak dan jangan dipahami dengan pemikiran
yang berlarut-larut. Biarkan Allah yang akan menuntun hati dan pengetahuan tentang
ilmu selanjutnya dengan tetap mematuhkan jiwa dan tubuh kita kehadirat Allah yang
maha suci.
Apabila kita meluruskan pandangan jiwa dan tubuh kita terhadap perintah-perintah-Nya
(Ad dien) serta menundukkan dan memasrahkan segala ketaatan. Tubuh ini akan taat
seperti taatnya alam semesta tanpa kita rekayasa, ia akan hidup seperti hidupnya alam,
serta ia akan teratur seperti teraturnya matahari serta planet-planet yang tidak
berbenturan. Ia akan patuh seperti patuhnya malaikat.
Demikianlah justru menurut pikiran logis, bahwa adanya diri (mikrokosmos), dan alam
semesta (makrokosmos), telah mengajak kesadaran untuk sampai kepada pembuktian
adanya Allah yang maha ghaib (metakosmos).
Pada pembahasan kali ini, mungkin ada hal-hal yang menyulitkan pembaca memahami
hakikat diri. Untuk itu maka selanjutnya penulis akan mengajak para pembaca masuk ke
dalam dunia yang lebih kongkrit, yaitu bagaimana melakukan dan memasuki dunia rohani
dengan benar. Pada bab-bab berikutnya akan saya untai praktek-prakteknya dan pembaca
bisa mengikuti dengan seksama.
"Ya Allah, Ajari Kami Ingat Kepada-Mu, Bersyukur & Khusyu' Beribadah"

0 komentar: